Japan Trip 2018 – Backpacking, ANA, dan Stroller Tinyworld

Heyho!

10-21 April 2018 kemarin, kami travelling ke Jepang. Kali ini bareng temen kami, Yohan-Vira dan anaknya, Ben.

Lupa sejak kapan, tapi sepertinya sekitar akhir 2015, kami mulai ngobrolin pengen ke Jepang. Tapi waktu itu saya lagi mau program anak kedua, baru kelar Europe Trip juga, jadi harus nabung dulu. Sementara itu Yohan Vira juga baru merid (dan langsung hamil). Setelah dihitung-hitung, kita plan buat pergi tahun 2019, karena saya maunya pergi pas udah nyapih Kirana.

Tapi lalu nggak sabar nunggu kelamaan, pas juga ada Japan travel fair, jadilah setengah tahun lalu kita beli tiket buat bulan April 2018.

Backpacking dengan Dua Bocah

Kita beli tiket ANA, perginya ke Tokyo, pulang dari Osaka. Jatah bagasi ANA adalah 2×23 kg perorang. Kalau dihitung total beratnya memang jatahnya jadi banyak. Tapi buat kami yang bawa 2 toddler, jadi ngerepotin karena 1 koper cuma boleh 23 kg berat maksimalnya.

Biasanya, kalau travelling agak lama, kita cuma bawa 1 koper medium atau besar, udah masuk tuh semua barang kita berempat. Tapi biasanya berat koper plus isinya itu udah mepet hampir 20 kg. Kalo di sana beli oleh-oleh lagi, risiko overweight deh.

Sementara kalo bawa 2 koper kecil atau koper cabin, ya bisa aja. Tapi… membayangkan kami berdua harus bawa 2 koper, plus stroller, plus ‘nenteng’ 2 anak… rasanya kok rempong sekali. Apalagi mempertimbangkan stasiun-stasiun di Jepang yang konon nggak semuanya ada lift.

Jadilah kembali kami backpacking-an.

Loh bukannya tambah rempong kalau pakai backpack? Ya plus-minus sih. Kalau saya dan Mas Ben sih lebih seneng pakai backpack karena ngangkat koper 10 kg di tangan itu lebih berat rasanya daripada manggul 10 kg di punggung. Apalagi kalau harus naik turun tangga. Bisa gempor deh ngangkat koper. Udah gitu kalau dengan backpack, tangan kami free, bisa sambil angkat stroller, gandeng, atau gendong anak.

Minusnya kalau ternyata ketemu jalanan yang lurus dan panjaaaaaaaang atau ketemu eskalator. Nelangsa hati ini membayangkan nikmatnya gerek koper daripada manggul. LOL.

Lalu setelah dijalanin, gimana? Apakah benar mempermudah atau mempersulit? Kami berdua sih masih sama-sama lebih suka backpacking daripada bawa koper. Sempet pas pindah kota, Kirana ngambek, ngamuk maunya digendong. Akhirnya saya pakai backpack di belakang dan boba air di depan. Mas Ben gendong backpack dan tangannya angkat stroller sambil gandeng Raka. Bayangin kalo kami masing-masing bawa koper, berarti Mas Ben harus angkat koper plus stroller. Bisa sih tapi pasti lebih berat. Saya harus angkat koper sambil gandeng Raka. Bisa sih, tapi pasti lebih repot.

Cuma ya memang begitu pulang, baru berasa badan remuk redam, lelah. Tapi ini jadi memotivasi saya di kesempatan berikutnya, untuk packing lebih light lagi. Untuk sekarang, mari kita ke Nakamura. Hehe.

Anggep aja latihan beban ya #menujuseksi2018

Stroller Tandem Tinyworld

Setelah keputusan soal backpack fix, kami mulai galau soal stroller. Apakah bawa 1 stroller pockit aja plus Boba Air? Apakah bawa 2 stroller (Pockit dan Aprica), apakah sewa stroller tandem?

Raka sih sehari-hari udah nggak pernah pakai stroller. Tapi kalau perginya seharian dan banyak jalan, bisa dipastikan dia nggak akan kuat juga.  Apalagi kalau di jam tidur siang-nya. Mengingat pengalaman ke Legoland yang lalu, di mana akhirnya stroller buat Kirana lebih sering dipakai Raka, dan saya terpaksa gendong Kirana sepanjang hari sampe gempor, akhirnya kami memutuskan sewa stroller tandem.

Setelah survey ke sana ke mari, membanding-bandingkan stroller tandem yang tersedia di berbagai penyewaan perlengkapan bayi, pilihan kami jatuh ke Tinyworld. Sewanya dari Gigel.id karena setelah nyari-nyari cuma mereka yang nyewain stroller ini.

Untuk review Gigel.id, saya nggak ada complain sama sekali. Prosesnya sangat mudah. Pemesanan saya lakukan lewat website, bayar, lalu dapet e-mail konfirmasi. Saya sewa 2 minggu dari tanggal 9-23 April 2018, tapi hari tanggal 6 April saya di WA, dibilang barang sudah ready dan akan diantar tanggal 7 April. Lumayan banget bonus 2 hari, jadi weekend itu saya bisa trial buat membiasakan pakai stroller-nya. Hari Sabtu tanggal 7 April, tahu-tahu barangnya udah sampai rumah dalam keadaan bersih, wangi, dan rapih. Seminggu sebelum akhir masa penyewaan, saya dapat notifikasi berakhirnya masa sewa minggu depan, dan konfirmasi mau perpanjang atau nggak. Sehari sebelum dan paginya, saya di-WA lagi untuk reminder pengambilan barang. Lalu tanggal 23 April tahu-tahu datang kurirnya ambil barang.

Simple! I am one happy customer!

Untuk stroller-nya, kami pilih Tinyworld dengan alasan berikut:

  • Formasinya depan-belakang bukan jejeran. Karena udah dibayangkan kalo jejeran pasti repot bawa-bawa di Jepang yang di mana-mana sempit. Wong ini aja masuk lift udah macam main tetris biar muat kita ber-7. Hehe
  • Paling ringan dibanding stroller-stroller tandem lain yang tersedia di berbagai tempat penyewaan. 10 kg ‘saja’. Stroller tandem lain rata-rata 12-14 kg.
  • Ukurannya cukup ramping dan modelnya ringkas. Jadi cuma sedikit lebih besar daripada stroller single biasa.
  • Dalam keadaan terlipat paling ramping dibanding stroller tandem lain, hampir sebesar stroller umbrella standar, tapi lebih panjang.
  • Kapasitas beratnya lumayan, maksimal 18 kg, pas buat Raka yang beratnya waktu berangkat 17,8 kg (walaupun pas pulang ditimbang ternyata udah 18,5 kg. haha)
  • Kanopinya besar, dan penyewaan produk ini sudah include rain cover.
Tinyworld Tandem - Red

Keren kan, stroller tandem tapi ukurannya nggak jauh beda sama stroller umbrella standard – gambar dari Gigel.id

 

Review-nya:

  • Kalau udah diisi Raka dan Kirana, dorongnya aja susaaaah cin. Ya tapi ini wajar lah ya. Mereka 18 dan 10,5 kg, plus 10 kg berat stroller, total dorong hampir 40 kg beban.
  • Dalam keadaan terlipat put ngangkatnya lumayan makan energi. Maklum ya kami kebiasaan sama stroller lightweight yang beratnya cuma 3-4 kg.
  • Walaupun berat, kami sangat bersyukur sewa stroller ini. Seringkali mereka tidur barengan berduaan, jadi memberi kami waktu break sebentar, bisa makan dengan santai, bisa lanjutin perjalanan (nggak perlu berhenti dulu nunggu mereka bangun)
  • Raincovernya sangat berguna. Waktu di Kyoto sempet hujan cukup deras dari siang sampai malam. Tinggal ‘cemplungin’ mereka berdua ke dalamnya, tutup raincover. Mereka malah terlihat hepi, nyanyi-nyanyi berduaan di dalamnya. Kita juga nggak ribet deh, tinggal dorong sambil pake payung.
  • Intinya walaupun berat, stroller ini sangat amat membantu perjalanan kami kemarin.

Stroller penyelamat, di saat anak-anak teler, di saat ortu tak sabaran karena anak-anak jalannya lama dan banyak ke-distract. Hehe

Terbang bersama ANA

Jadi kami milih ANA karena mendaratnya di Haneda. Maskapai lain kebanyakan mendarat di Narita. Kenapa mau di Haneda? Karena lebih dekat ke pusat kota, cuma sekitar 40-50 menit ke Shinjuku. Narita sekitar 80-90 menit ke Shinjuku.

Semakin dekat harinya, semakin excited karena baca banyak review bagus tentang ANA. Tapi ternyata saya kecewa loh. Disclaimer dulu bahwa ini hanya opini dan pengalaman pribadi ya.

Yang paling menyiksa, saya merasa kursinya ANA nggak enak. Entah apa yang salah, yang jelas saya dan Mas Ben sama-sama sulit tidur di pesawat. Aneh banget mengingat kita berdua ini pelor (nempel molor), yang di mana-mana gampang banget buat tidur, apalagi baik pergi maupun pulang kita pilih penerbangan malam, yang emang jam tidur kita.

Nggak paham deh, rasanya duduk serba salah, nggak pas. Salah satu yang saya rasain tuh kaki saya rasanya nggantung jadi pegel. Sampai saya taru tas buat ganjel kaki barulah bisa tidur sebentar. Senderannya juga terasa kurang pas. Nggak ngerti ya mungkin proporsi badan saya yang gak compatible sama kursinya ANA.

Udah gitu baik pergi maupun pulang, kami dapat seat di first row. Yang mana berarti mejanya terlipat di sandaran tangan. Layar monitor TV terlipat di bagian bawah sandaran tangan. Kalo mau nonton sambil makan, plus sambil mangku Kirana, rempongnya nggak kira-kira. Pas pulang udah minta nggak mau di first row tapi dapetnya first row lagi.

Lalu pas pergi, souvenir buat anak baru dikasih pas udah mau nyampe. Souvenirnya playing cards (biasa kartu remi gitu) buat Raka dan flash card buat Kirana. Saya menyayangkan sih kenapa kok bukannya dikasih pas awal, bukannya gunanya itu mainan supaya anaknya anteng ya? Udah gitu sih menurut saya souvenirnya ini kalah dibanding sama Etihad, Garuda, atau SQ.

Waktu pulang dari Osaka, souvenirnya balon tiup bentuk pesawat (bahan kayak floatie gitu) dan dikasihnya di awal penerbangan, jadi sangat efektif bikin anak-anak saya sibuk sementara.

Point negatif lainnya soal entertainment, menurut saya pilihan tontonannya sedikit. Udah gitu pas pulang dari Osaka, kan kita transit di Tokyo. Flight dari Osaka-Tokyo tuh nggak ada film, cuma ada musik. Agak mengecewakan sih, secara ini kan bukan budget airline ya. Garuda aja dari Jakarta-Bali pilihan film-nya banyak. Lalu pas dari Tokyo-Jakarta, pas awal-awal saya bisa nonton, pas setengah flight berikutnya, ada masalah di TV saya karena tiap saya pilih film selalu balik ke menu awal. Tapi saya terlalu lelah dan enggan buat complain.

Tapiii yang paling GONG adalah pas kami mau check in pulang dari Osaka. Flight kami terjadwal jam 21.05. Kami masuk counter check in jam 19.30. Proses check in lama banget. Boarding pass-nya Kirana malah ‘nempel’ sama Yohan. Lalu boarding pass saya, Benny, dan Raka nggak jadi-jadi. Alasannya, pesawatnya full jadi mereka lagi mengusahakan duduknya bisa bareng. Belakangan boarding pass Benny pun terbit, tapi boarding pass saya dan Raka tetep nggak keluar. Alasan masih sama, mereka lagi mengusahakan supaya saya dan Raka bisa duduk bareng karena sekarang seat yang available tinggal sendiri-sendiri semua. Sampai jam 20.40, boarding pass saya dan Raka belum jadi, mereka bilang tunggu sampai jam 20.50.

Bener aja tu boarding pass baru keluar jam 20.50 tepat, 15 menit sebelum keberangkatan. Saya berdua Raka lari-lari dari counter check in ke gate (yang lain udah saya suruh boarding duluan). Dan kalian tahu…??? Kami semua di upgrade ke kelas bisnis tapi duduknya kepisah-kepisah semua. Yang jejeran cuma seat nya Benny dan Raka. Sisanya nyeplok-nyeplok terpencar sendiri-sendiri di kelas bisnis.

menikmati 1,5 jam di kelas bisnis. Kalo yang ini sih kursinya enak banget *yaeyalaaaaah

Kalau akhirnya pisah-pisah gini kenapa coba mereka nggak kasih di ekonomi aja sesuai bookingan kita? Saya sebenernya curiga mereka overbooked jadi emang seat yang tersisa di kelas bisnis semua. Entah ya saya suudzon atau gimana, tapi yang jelas saya kecewa banget sih sama hal ini. Seumur-umur naik pesawat baru pernah ngalamin kaya gini. Rugi perasaan, rugi waktu, yang tadinya kita udah nge-plan mau beli liquor dan oleh-oleh di airport, batal semua.

Bukan berarti ANA nggak ada bagusnya ya. Yang saya suka sih tentu saja makanannya. Enaaak. Terutama pas pulang dari Jepang, baik refreshment (snack) maupun main course-nya jauh lebih enak daripada pas berangkat dari Jakarta. Trus kami kan request baby food buat Ben dan Kirana, dapetnya lengkap mulai dari bubur dan lauk, sampai juice, snack, dan buah.

Udah gitu yang saya suka lagi, kalau anak-anak minta minum, dikasih gelas lengkap dengan lid dan sedotan, jadi aman nggak takut tumpah. Hal kecil yang sangat mempermudah.

Konon, toilet ANA juga juara karena lengkap dengan bidet. Tapi saya nggak nyobain karena sepanjang penerbangan, Kirana tidur, jadi saya malas ke toilet.

Jadi kesimpulannya, memang kami aja sih yang nggak cocok sama ANA. Sekali lagi, ini hanya opini pribadi loh ya. Banyak kok yang malah suka banget sama ANA.

Untuk cerita perjalanan di Jepang, nantikan postingan berikutnya.

 

 

 

 

 

 

32 thoughts on “Japan Trip 2018 – Backpacking, ANA, dan Stroller Tinyworld

  1. Ci Dinaa, suka baca blognya ci Dina deh, pengalaman pergi naik ANA sama banget cii, kata orang ANA enak banget, dari kursi, makanan, tapi aku ga bisa tidur, aku pikir apa aku yg salah, ternyata ada org lain yg mengalami hal yg sama, untuk kakinya pas pesawat pergi memang lega, tpi aku tetep ganjel tas lagi jadinya. Pas pulang lebih sempit. Dan makanannya standard aja yg saat pergi ci..

    Ditunggu cerita selanjutnya ci 😁

  2. Beruntungnya r & k anak stroller.. lmyn banget jadinya ga usah gendong2. Kalo ga pasti gempor deh gendong depan belakang. Pantesan ya di foto kalian jarang ada pose lagi gendong anak haha. Kalo foto gw di jepang banyakan posenya lagi gendong axel pk boba lol

  3. Hebatttttttt. Junjungan bgt km! More.. more.. more. Btw strollernya lucu yah. Kaki k nyampe bawah apa kaga? Soalnya yg depan keliatan pendek

    • Gak hebat lah, tuntutan kondisi biar bisa tetap travelling. HAHA. Kaki K nggak nyampe bawah kok, itu bagian bawah pahanya juga masih bisa dipanjangin. Ada tempat taro kaki juga. Emang yang di depan sebenernya lebih mendelep sih, yang di belakang lebih enak. Tapi kalo Raka yang di depan, dorongnya lebih beraaaaaat

  4. Entah kenapa kok gue norak ngeliat stroller tandemnya berasa kereeeennn hahahahaha
    Ngeliat tas backpacknya kayaknya pegel banget ya hahahaha tapi ngebayangin repot bebawaan koper stroller dan anak emang ngalahin rasa pegel, pegel gpp dah daripada remponggg lol

    • Samaaaa!! Gue juga kagum sama stroller tandemnya 😆 baru tau ada yg model kek gt Din. Biasanya tau yg model berjejer punya.
      Salute euy pake tas ransel gt Din, gue belum tentu sanggup alias mgkn g emoh duluan 🤣 *mental tempe

  5. Pingback: Japan Trip 2018 – Tokyo, Gyukatsu, dan Sakura Terakhir | Cerita Bendi

  6. Pingback: Japan Trip 2018 – Drama Disneysea yang (Untungnya) Happy Ending | Cerita Bendi

  7. Pingback: Japan Trip 2018 – Kawaguchi, Sakura, Salju, dan Sushi Enak | Cerita Bendi

  8. hi, salam kenal….
    Aku emak anak 2 , yg pertama Cowok yg ke2 Cewek, sama ya kayak Raka n Kirana 🙂
    ada plan juga mau ke Japan
    mau tanya…. kalo bawa stroller tandem gitu merepotkan gak ya pas keluar masuk turun naik public transportation, kayak MRT nya?
    soalnya temen cerita, station MRT di jepang gak se stroller friendly di Sing, suka susah nemu lift jadi malah lebih saranin stroller nya misah aja dan cari yg ringan daripada ngangkat stroller tandem >10 kg naik tangga

    minta opini mu ya Din, setelah mengalami sendiri disana mending stroller tandem atau 2 stroller terpisah aja? 🙂 thx

    • Hai… iya bener kita jg nemu bbrp station yang ga ada lift nya. Jujur gw jg sulit menjawab kegalauan lo. Gw jg smpet consider bawa 2 stroller. Tp suami gw prefer bawa 1 aja. Stelah dijalanin sih either way menurut gw sama2 ada plus minusnya. Point plusnya tandem sih anak2 gw jd sukarela duduk di stroller krm berasa seru main kreta2an hehe

      • ah iya beneeer, aku jadi keinget… karena pake tandem tu mereka happy, koko nya suka ajak main adeknya jadi gak boring (ajak main = gangguin, lemparin mainan, sharing 1 box of pocky) apapun itu mereka jadi ada interaksi ya….
        ah galau nya >.<

        lalu pas gak nemu lift gimana? share tips n trick nya ya hihihihi….

      • Sbnernya kalo lebih prepare dan cari tahu dulu, konon bisa menghindari station yg ga ada lift. Ada website nya soal info ini. Nanti coba gw cari ya. Lupa alamatnya apa.

  9. Pingback: Japan Trip 2018 – Keliling Tokyo yang Ramai | Cerita Bendi

  10. Pingback: Japan Trip 2018 – Falling in Love with Takayama | Cerita Bendi

  11. Pingback: Japan Trip 2018 – Ryokan Asunaro, Aku Padamu | Cerita Bendi

  12. Pingback: Japan Trip 2018 – Tentang Hida Beef dan Berdiri di Shinkansen | Cerita Bendi

  13. Pingback: Japan Trip 2018 – Jadi Model Sehari di Kyoto | Cerita Bendi

  14. Pingback: Japan Trip 2018 – Belanja di Osaka | Cerita Bendi

  15. Pingback: Japan Trip 2018 – Universal Studio! | Cerita Bendi

  16. Pingback: Japan Trip 2018 – Playground di Osaka Castle dan Drama Boarding di Airport | Cerita Bendi

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.